Pulau Peling (sebagai daerah wilayah Banggai Kepulauan) secara harfiah mempunyai makna yang bagus dalam bahasa jawa yaitu “pepeling”, dalam bahasa indonesia artinya “pengingat”. Dalam artian lain Peling artinya sejenis bambu kuning yang terletak disuatu tempat yang saat ini dinamakan Bulagi. Diwilayah itulah pertama kali dibentuk suatu negeri (zaman kerajaan kuno) dengan sebutan Lipu Babasal yang dijuluki Lipu Tumbe yang artinya Negeri Pertama atau Tempat Permulaan. (Lembaga Kearsipan Daerah Kab. Banggai Kepulauan)
Monumen Djayawijaya trikora (Icon Sejarah Banggai Kepulauan)
Tri Komando Rakyat :
- Gagalkan Pembentukan Negara Boneka Papua buatan Kolonial Belanda
- Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat, Tanah Air Indonesia
- Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kesatuan Tanah Air dan Bangsa Indonesia
Kota Salakan mempunyai nilai sejarah yang tinggi. Disinilah lokasi armada kapal perang Indonesia pada peristiwa Trikora. Kapal perang Angkatan Laut Indonesia, kapal niaga yang ikut membantu penyerangan, sampai kapal selam berkumpul disini menunggu komando. Posisinya memang sangat strategis, dekat dengan Papua dan terlindungi dengan baik oleh bentuk Pulau Peling yang seperti huruf U dan adanya pulau Bakalan di depannya.
Untuk mengenang peristiwa bersejarah tersebut, dibangunlah sebuah Monumen Trikora DJayawijaya dikenal dengan Tugu Trikora di Salakan. Monumen Trikora DJayawijawa kokoh berdiri di puncak bukit kota Salakan. Monumen setinggi 17 meter yang diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 12 Agustus 1995 ini dibangun persis menghadap Teluk Ambelang dan Pulau Bakalan. Di kaki bukit, terdapat prasasti berisi pernyataan terima kasih dari masyarakat Tinangkung kepada Preside Soeharto.
Atas tugu merupakan lingkaran-lingkaran berteras menyatu dengan alam sekitarnya memancarkan kegiatan nyata usaha pembangunan yang mengacu kepada kelestarian dan keseimbangan. Menghadap tugu ini sebuah halaman kecil berteras untuk tempat mengenang dan menghikmat peristiwa masa lalu. Di samping bawah tugu ini sebuah relief besar yang memberikan gambaran dan makna peristiwa Operasi Djayawijaya dalam pelaksanaan Trikora untuk mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Untuk mencapai monumen berbentuk segitiga ini, pengunjung harus menapaki 214 anak tangga. Disekitar tugu terdapat halaman berteras sebagai tempat mengenang peristiwa pada masa lalu yaitu sebuah simbol perjuangan Bangsa Indonesia dalam upaya merebut Irian Barat (Papua) dari Belanda. Dari tugu ini kita dapat melihat seluruh kota Salakan dan gugusan pulau di depannya. Selain itu, tertulis pula kapal-kapal TNI-AL dan pasukan dari berbagai kesatuan yang dilibatkan dalam operasi militer.
Prasasti bertuliskan nama kapal-kapal TNI-ALdan pasukan dari berbagai kesatuan
Selain Monumen Trikora DJayawijaya, juga dijumpai beberapa nama jalan dalam kota Salakan dari nama kapal-kapal yang pernah berlabuh di Teluk Bongganan. (Lembaga Kearsipan Daerah Kab. Banggai Kepulauan)
Susunan Raja-raja Banggai mulai awal Masehi Hingga Sekarang
- Nama Raja Banggai mulai awal Masehi-Tahun 1580
- Gahana – Gahani
- Tahana – Tahani
- Adi Kalut Pakalut
- Adi Moute
- Adi Lambal Palambal, Adi Ambar
- Tomundo Kokusu
- Tomundo Sasa, Mbumbu Patola
- Tomundo Sabol
- Nama Raja Banggai Tahun 1580-1600
- Mbumbu Doi Jawa, Raden Adi TJokro (Adi Soko) Asal Kediri Tahun 1580
- Mbumbu Pangkalalas Doi Tano, Abdul DJabar
- Mbumbu Pangkalalas Doi Ndalangon, Mpu Nolo
- Mbumbu Palakangkang
- Mbumbu Tetelengan
- Mbumbu Dinadat Doi Batang, Kalukabulag I
- Mbumbu Dinadat Doi Taipa, Kalukabulag II
- Mbumbu Dinadat, Manila
- Mbumbu Abinggi, Tojani
- Masa Tahun 1600 Hingga Sekarang
- Mbumbu Doi Godong, Maulana Frins Mandapar (16 Mei 1600 – 1630)
- Mbumbu Doi Kintom, Molen (1630 – 1648)
- Mbumbu Doi Benteng, Paudagar (1648 – 1689)
- Mbumbu Doi Balantak (1689 – 1705)
- Mbumbu Doi Kota, Abdul Gani (1705 – 1728)
- Mbumbu Doi Bacan, Abu Kasim (1728 – 1753)
- Mbumbu Doi Mondonu, Kabudo (1753 – 1768)
- Mbumbu Doi Padongko, Ansyara (1768 – 1773)
- Mbumbu Dinadat, Mandaria (Berdarah Putih) (1773 – 1809)
- Mbumbu Doi Galela, Atondeng (1809 – 1821)
- Mbumbu Doi Sau, Tadja (1821 – 1827)
- Mbumbu Doi Tenebak, Laota (1827 – 1847)
- Mbumbu Doi Bugis, Agama (1847 – 1852)
- Mbumbu Doi Jere, Tatu Tonga (1852 – 1858)
- Mbumbu Doi Banggai, Soak (1858 – 1870)
- Mbumbu Doi Labusana, Nurdin (1870 – 1882)
- Tomundo/Raja Hi. Abdul Azis (1882 – 1900)
- Tomundo/Raja Hi. Abdul Rahman (1901 – 1922)
- Tomundo/Raja Hi. Awaluddin (1925 – 1940)
- Tomundo/Raja Hi. Nurdin Daud (1940 – 1941)
- Tomundo/Raja Hi. Syukuran Aminuddin Amir (01 Maret 1941 – 1957)
- Tomundo/Raja Moh. Chair Amir (05 Desember 1987 – Sekarang)
Secara de jure Kerajaan Banggai berakhir pada Tahun 1952 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1952 tanggal 12 Agustus 1952 tentang penghapusan Daerah Otonom Federasi Kerajaan Banggai. Namun, dalam rangka melestarikan nilai historis, adat istiadat dan budaya serta bentuk dan sistem pemerintahan yang teratur sejak tahun 1600 maka dibentuklah wadah yakni Perangkat Adat Banggai dan Lembaga Musyawarah Adat Banggai (LMAB) dipimpin oleh seorang Ketua Umum bergelar Tomundo yang sekarang dijabat oleh Moh. Chair Amir keturunan langsung Mbumbu Doi Bugis (Agama) dan Mbumbu Doi Galela (Atondeng), karena adik perempuan Raja Abdul Rahman (Aima) adalah Ibu kandung Raja S. A. Amir, ayah dari Moh. Chair Amir (cicit Mbumbu Doi Galela).