Salakan, BanggaiKep.go.id – Sidang Sinode Am Gereja-gereja Sulawesi Utara Tengah dan Gorontalo (S-SAG Sulutenggo) yang digelar di Kabupaten Banggai Kepulauan diawali dengan ibadah pembukaan yang dilaksanakan di BPU Kec. Tinangkung, Kamis, (7/10/2021).
Ibadah ini dilayani oleh Wakil Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (Wasekum PGI) Pdt. Krise Rotti Gosal, M.Th sebagai pemberita Firman Tuhan dan Wakil Ketua II Sinode GPIBK, Pdt. Masye Elisabeth Tatamu Pangkey, M.Th sebagai pemimpin Litorgis.
Pembacaan Firman Tuhan yang dibaca dari Kitab Markus 9:38-50 dengan Tema Khotbah ” Menjadi Gereja Bagi Semua”.
Dalam Khotbah Pdt. Krise Rotti Gosal, M.Th mengatakan bagian awal teks yang kita baca tadi mengandung pendasaran teologi yang universal atas misi Yesus. Misi Yesus tidak dapat di klaim sebagai milik sekelompok orang tertentu.
Misi Yesus memang adalah misi para murid tsb, tetapi para murid tidak dapat mengklaimnya secara eksklusif. Allah dalam Yesus adalah yang bebas menggunakan dan mengasihi siapa saja yang dikehendaki-Nya. Maka tidak ada alasan bagi para murid untuk merasa diri lebih berhak dan lebih hebat dari yang lainnya.
Sebagai media pembelajaran, Yesus memakai anggota tubuh yang menyesatkan, dan juga memakai anak-anak kecil, untuk menegaskan kepada para murid agar terbuka terhadap komunitas yang tak berdaya, yang hidupnya bergantung pada orang lain, seperti halnya anak kecil.
Terdengar ekstrim ketika Yesus menyebut bahwa jika tanganmu, kakimu, menyesatkan mu maka penggalah dan jika mata menyesatkan cungkilah, sesungguhnya pesan yang mau disampaikan Tuhan Yesus adalah bebaskan dirimu dari berbagai batu sandungan, yaitu kepentingan yang membebani dan merusak panggilan mu.
Sebagaimana kita tidak bisa mencungkil mata kita maka lawanlah segala sesuatu yang menghalangi dan menjauhkan sesama kita dari hak nya untuk menikmati Kasih Allah yang universal itu.
Yesus pun mengakhiri tegurannya dengan mengingatkan para murid akan panggilannya membawa perubahan yang baik bagi lingkungannya, sebagaimana fungsi garam yang mencegah mikroba perusak makanan, membasmi bakteri pembusuk, dan memberi rasa enak pada yang hambar.
Dalam Khotbahnya Pdt Krise Rotti Gosal mengajak agar pemberitaan kabar baik (FIRMAN ALLAH) membawa pemulihan, pembebasan, penyembuhan, dan lain-lain, itu dari sudut solidaritas Allah dengan dunia sebagaimana jelas terungkap dalam peristiwa agung Inkarnasi, dimana Allah memperlihatkan kesetiakawanan dengan manusia.
Maka gereja sebagai yang diberikan amanat ini hendaknya juga memperlihatkan solidaritas dengan masyarakat di mana ia berada.
Pemberitaan solidaritas Allah adalah pemberitaan Kabar Baik itu sendiri. Ini sekaligus menegaskan bahwa dasar kita menjalin relasi dengan orang lain diluar lingkaran bukan sekadar sesuatu yang praktis, tetapi alkitabiah.
Tapi yang sering terjadi adalah sering orang bukan mendengar Kabar Baik, tetapi kabar buruk, karena cara-cara pemberitaan yang tidak berkenan. Ada berbagai motivasi menyimpang, ada persaingan, klaim pembenaran diri, ada pengelompokan dunia sosial: “kita’ dan “mereka”, pemaksaan dan iming-iming
Pdt. Krise katakan Gereja memang mempunyai sisi organisasi dan sekaligus sisi organisme. Yang dimaksud dengan sisi organisasi adalah, gereja dapat menerapkan aturan-aturan organisasi ke atasnya yaitu bagaimana cara mengaturnya dan seterusnya.
Itulah sebabnya, ada hal-hal yang dapat diukur di dalam pelaksanaan tugas dan kewajiban gereja. Pada pihak lain, gereja mempunyai sisi organisme, yaitu yang diibaratkan seperti tubuh yang saling berhubungan satu sama lain.
Antara organisasi dan organisme pun sering terjadi “ketegangan”. Kalau gereja terlampau menekankan organisasinya, maka gereja seperti ini disebut terlalu institusionalis. Sehingga dalam gereja seperti itu aspek cinta kasih menjadi tidak jelas.
Mungkin kita mesti bertanya apakah persekutuan gereja benar-benar diinspirasikan oleh dan di dalam Allah (Yoh 17:21), ataukah hanya sekadar bersekutu supaya kita punya kekuatan untuk menantang orang-orang lainnya? Apakah persekutuan kita merupakan sekadar merupakan “mobilisasi” kekuatan untuk memperlihatkan bahwa jumlah kita tidak kalah dengan orang-orang lainnya? Ataukah persekutuan kita justru mesti merupakan persekutuan terbuka yang memberi tempat bagi orang-orang lain, bukan sekadar solidaritas, tetapi empati?
Dan jika kesaksian masih menjadi salah satu panggilan, maka kesaksian seperti apa yang dimaksudkan? Adakah dengan menempelkan berbagai label “Kristen” yang dalam banyak hal dapat saja menimbulkan kecurigaan pihak lain? Ataukah kesaksian kita adalah kesaksian “senyap”, tetapi yang hasil kerjanya dirasakan di mana-mana, laksana garam yang tidak kelihatan namun rasanya dapat dinikmati.
Pdt. Krise mengajak, SAG menjadi influencer, bawa pengaruh dan citarasa sedap ditengah lingkungan kita. Memurnikan segala kebusukan hidup dengan mencontoh pada kesetiakawanan Allah dengan manusia. Keagungan gereja tidak terletak dalam kepiawaian kita membenarkan diri dan menyerang komunitas atau agama lain, tetapi dalam transformasi nilai yang dikandung oleh gereja itu sendiri dan bagaimana kita anggotanya mengamalkannya bagi kepentingan bersama. (AmosKominfo)